Masih lekat teringat di benak saya saat pertama kali saya menginjakkan kaki di kampus tercinta ini. Saat itu, saya masih sangat senang dan bangga bisa diterima sebagai mahasiswa Unpad, terlebih saya diterima lewat jalur murah meriah, SNMPTN. Namun, saat saya dan ayah saya melihat keadaan kampus yang sangat kotor; sampah berserakan di mana-mana, tidak ada kotak sampah di sepanjang jalan kampus, toilet yang tidak terurus, dan gedung yang sangat suram karena belum dicat ulang, saya dan beliau heran dan bertanya-tanya; “apa yang sudah dilakukan seluruh civitas academia kampus ini melihat pemandangan suram di kampus mereka sendiri?”.
Di benak saya, universitas ternama itu fasilitasnya luar biasa; bangku, meja dan ruangannya bagus, perpustakaan yang isinya sangat lengkap, laboratorium yang memadai, dan juga pelayanan kemahasiswaan yang sangat terbuka; namun yang saya dapatkan justru bangku kuliah yang sama seperti di bimbingan belajar pada umumnya, perpustakaan yang koleksinya sangat mengecewakan, bahkan saya tidak bisa bilang itu sebuah perpustakaan; serta laboratorium yang harus dibagi-bagi, bahkan rebutan dengan delapan jurusan lainnya, kursinya pun punya decitan yang khas saat digerakkan; serta pembatasan pemberian informasi serta partisipasi beasiswa di fakultas saya. Kecewa? Jelas saya kecewa. Teman-teman saya yang berkuliah di PTN lainnya bisa mendaftar beasiswa mahasiswa berprestasi tanpa harus mengurus SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) tapi di sini, semua beasiswa harus menyertakan SKTM. Sebagai mahasiswa dengan IPK di atas 3,00 (saat itu), saya sangat kecewa mengetahui teman saya yang IPK-nya di bawah 3,00 justru mendapat beasiswa PPA, hanya karena ia melampirkan SKTM. Is it fair? Saya berbicara dengan petugas di kemahasiswaan, beliau berkata bahwa SKTM itu bukan berarti menunjukkan kalau saya miskin, namun apa beliau-beliau ini lupa bahwa angka kemiskinan di Indonesia dihitung tidak hanya dari kartu tanda miskin, tapi juga SKTM. Dengan membuat SKTM, bukankah saya justru akan meningkatkan angka kemiskinan di Negara ini dalam statistikanya dan menambah buruk Negara yang mengagungkan “angka-angka statistik” ini? Dan bukankah dengan pembatasan seperti ini membuat mahasiswa menjadi enggan untuk mendapatkan haknya untuk mengembangkan diri dengan segala potensi yang ia punya?
Saya sangat senang melihat atmosfer di kampus padjadjaran, mahasiswanya banyak yang sadar akan kekurangan mereka dibandingkan dengan universitas lain yang memang inputnya lebih baik dari kampus ini. Banyak sekali mahasiswa gigih, ulet, dan tekun di sini. Mereka menyadari bahwa hanya kegigihan, keuletan, dan ketekunanlah kunci untuk mengalahkan orang-orang yang pintar. Di jurusan tempat saya menimba ilmu, mahasiswa selalu diajarkan untuk menilai segala sesuatu dengan nalar yang bisa dipertanggungjawabkan, karena itulah ciri-ciri mahasiswa intelektual; tidak gampang terprovokasi dengan isu yang beredar di sosialita serta melihat suatu kasus dalam satu pandangan saja. Oleh karena itu, kami bisa bersikap lebih bijak dan memperlihatkan bahwa beginilah harusnya mahasiswa bersikap, tidak harus berdemo atau berorasi, namun dengan memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang mahasiswa intelektual bersikap. Dosen saya pernah bercerita di kelas bahwa saat mahasiswa turun ke jalan memperjuangkan demokrasi di Indonesia tahun 1998, mereka meninggalkan kewajiban mereka: mengikuti UTS dan UAS dan lebih memilih untuk bedemo, namun seminggu sebelum UTS dan UAS mereka masuk ke kelas. Dosen saya lalu bertanya kepada mahasiswa yang bersangkutan: “Kenapa harus saat UTS dan UAS berdemonya? Kenapa tidak seminggu sebelum UTS dan UAS?”. Bukankah itu sama sekali tidak mencerminkan mahasiswa intelek, karena mendahulukan kepentingan yang lain dibandingkan kewajibannya sebagai mahasiswa?
Sudah hampir dua tahun saya berkuliah di sini dan saya merasakan perubahan yang cukup pesat di kampus ini. Laboratorium di fakultas saya sekarang ditambah dan dibuat lebih canggih dengan sistem komputerisasinya, penambahan satu gedung D di belakang gedung C sastra sehingga mengurang kenaasan sembilan jurusan yang berebut tempat kuliah yang hanya di gedung B dan C saja, mulai banyak pekerja yang membersihkan kampus dari sampah-sampah yang berserakan dan tidak lupa kotak sampah dan rerumputan yang mulai ditanami di taman-taman kampus, dan yang terakhir, berterimakasihlah kepada Bank BNI atas bantuan Bis gandengnya, atau yang mahasiswa sering sebut “mobil odong-odong” (entah dari mana bahasa itu berasal). Dan yang lebih membanggakan adalah meningkatnya jumlah mahasiswa Unpad yang berprestasi di berbagai ajang kompetisi, mengikuti pertukaran pelajar ke luar negeri, serta menjadi peserta atau pembicara di konferensi internasional, namun sangat disayangkan pihak universitas masih enggan untuk mensponsori kegiatan mahasiswa yang mungkin saja akan sangat membantu Unpad untuk mencapai tujuannya “to be recognized as a World Class University”.
Sebagai mahasiswa yang dulunya berkecimpung di bidang penelitian, saya masih jarang mendengan peran mahasiswa Unpad dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Mungkin ini bisa menjadi PR untuk seluruh civitas academia Unpad, termasuk saya; untuk lebih berani lagi menunjukkan inovasi-inovasinya kepada Negara dan juga ke dunia Internasional. Sebagai mahasiswa Sastra Inggris, mungkin saya suatu hari nanti akan menulis sebuah buku untuk membantu teman-teman saya sesama mahasiswa Sastra Inggris Unpad secara sempit atau mahasiswa Sastra Inggris di seluruh Indonesia atau mungkin di seluruh dunia untuk membantu proses perkuliahan. Mungkin anda tertarik untuk melakukan sesuatu untuk kampus ini? Saya mengajak teman-teman semua; ayo mari kita melakukan sesuatu untuk kampus ini. Sayangi kampusmu seperti kamu menyayangi keluargamu sendiri. Saya masih melihat betapa sempitnya link yang dimiliki mahasiswa Unpad dari para alumninya. Banyak yang sepertinya lepas tangan dan tidak peduli dengan junior-juniornya dari Unpad setelah mereka lulus. Hal inilah yang membuat alumni Unpad setelah lulus tidak terdengar seperti alumni kampus yang lain.
Dari uraian saya di atas, dapat disimpulkan, masih banyak sekali fakta menyakitkan tentang kampus ini. Namun, saya sangat bersyukur bisa berada di sini. Saya bisa belajar untuk menerima kekurangan yang ada dalam menimba ilmu di kampus ini, karena justru biasanya yang berada dalam keterbatasan yang akan mendapat lebih karena mereka lebih tekun dan gigih dibandingkan mahasiswa lain di kampus lain yang mungkin saja fasilitasnya lebih baik dibanding kampus ini. Bersinarlah di tengah keterbatasan, untuk Unpad yang lebih baik.
Oleh: Dita Ayu Astari D, Mahasiswi S1 Jurusan Sastra Inggris 2009, Universitas Padjadjaran (ditulis untuk mengikuti lomba Essay Intelektual Muda yang diselenggarakan oleh Padjadjaran Intelectual Research)
Lomba apa ituuuu? syaratnya apa?
ReplyDeleteitu yang ngadain panitia tampar unpad...
ReplyDeletedeadline-nya 28 Maret kemaren bos. kan ada di baliho gerbang lama unpad...