From Bandung to Lampung, with Telkomsel
By: Dita Ayu Astari D
Tahun ini adalah tahun keduaku melakukan ritual mudik. Sejak kecil sampai SMA aku menghabiskannya di kota kelahiranku, Bandar Lampung. Seluruh keluargaku ada di sana sehingga aku tidak pernah merasakan atmosfer mudik seperti keluarga lainnya sampai aku duduk di bangku kuliah di salah satu universitas negeri di Bandung. Tahun ini sedikit berbeda karena perkuliahan semester baru yang hanya tiga minggu sebelum hari idul fitri, sehingga aku tidak tahu harus memesan tiket untuk pulang tanggal berapa. Jadilah, aku harus berganti-ganti naik bis untuk pulang. Mama dan Papa selalu menghubungi aku untuk mengetahui kapan pastinya aku selesai perkuliahan sebelum lebaran dan pulang ke Bandar Lampung. Aku, Mama, dan Papa sejak dulu selalu memakai Telkomsel sebagai operator ponsel kami. Mama dan Papa memakai KartuHalo, sedangkan aku memakai kartuAs. Aku memang sengaja memakai Telkomsel karena jangkauannya yang luas sehingga orangtuaku bisa menghubungiku di manapun aku berada tanpa rasa was-was dan cemas. Selain itu juga, aku bisa sepuasnya mengobrol dengan orangtuaku saat aku kangen mereka dengan tarif Rp 1000/10 menit. Pas buat kantong anak kost yang serba irit.
Tanggal 3 september lalu, akhirnya aku meninggalkan Bandung menuju Cikarang. Aku pergi bersama sepupuku yang juga sedang berkuliah di salah satu Institut negeri di Bandung. Sudah cukup lama aku tidak bertemu dengannya sehingga aku dan dia banyak bercerita tentang kuliah masing-masing. Oh ya, aku pergi ke Cikarang hanya ingin menitipkan barang-barang yang tidak mungkin aku bawa sendirian. Sangat sulit membawa barang sendirian kalau harus pulang dengan barganti-ganti bis. Tanteku dan keluarganya baru akan mudik tanggal 9 September karena pekerjaan tanteku yang seorang dokter tidak bisa begitu saja ditinggalkan. Akan sangat merepotkan kalau aku berlama-lama di sana hanyak karena ingin ikut pulang bersama. Esok paginya, aku berangkat dari terminal bus Bekasi menuju Merak. Good bye for now Java!
Sampai di Merak, aku turun di Terminal Bus Cilegon. Cukup jauh aku berjalan menuju loket tempat membeli tiket. Di dekatku banyak sekali tukang ojek yang menawari jasa sampai loket. Namun karena aku harus berhemat, akupun memilih berjalan kaki saja menuju loket. Tapi di belakangku ada seorang pria misterius yang mengikutiku. Hal itu cukup membuatku dag dig dug tidak karuan. Aku takut menjadi korban kriminalitas sehingga seluruh tubuhku bergetar. Kupercepat langkahku, pria itupun melakukan hal yang sama. Aku berjalan ke sisi kiri, iapun mngikuti ke sisi kiri. Begitu juga saat aku berganti posisi ke sisi kanan, iapun juga berjalan ke posisi kanan. Pria itu berhenti mengikutiku saat aku sudah hampir sampai di depan loket yang dijaga ketat oleh personil Brimob. Thank God! Fiuh…. >.<
Sesampainya di depan loket, aku mencari loket untuk kapal cepat, namun loket tersebut ditutup dan hanya loket Ferry yang di buka. Dengan sangat terpaksa, aku harus naik kapal Ferry yang bisa memakan waktu dua jam pelayaran menuju Pelabuhan Bakauheni dibandingkan dengan kapal cepat yang hanya empat puluh lima menit. Akupun segera masuk antrian, membeli tiket, dan segera ke dermaga. Cukup banyak pemudik hari ini, gumamku. Aku berjalan, dari dermaga satu, dua, tiga, namun semua ditutup. Mungkin di dermaga empat gumamku, karena aku melihat banyak pemudik yang masuk ke sana. Kupercepat langkahku dan sesampainya di dekat pintu kapal, aku dicegat oleh salah satu petugas ASDP, ia berkata “ke dermaga yang sebelah sana aja mbak!”. Hah? Dermaga mana lagi? Bukannya ini dermaga terakhir?? Akupun langsung melihat ke arah yang ditunjuk petugas tadi dan mendapati sebuah kapal Ferry bersandar di dermaga yang belum selesai dibuat alias “darmaga darurat”. Dan untuk mencapainya, kami harus berjalan sekitas lima ratus meter dari atas dermaga empat. Lokasinya yang jauh dan di luar dari area masuk penumpang membuat aku dan penumpang yang lainnya harus rela berpanas-panasan dan masuk lewat bagasi kendaraan beroda di atas empat. Saat itu di kepalaku hanya ada kata “Gue pengen minum, Gue pengen batal…!”, ditambah dengan sebagian besar pemudik yang tidak berpuasa dan terang-terangan memesan makanan dan makan di depanku. Tapi, aku tekan lagi perasaan itu, menarik nafas dalam-dalam, dan membaca majalah Gogirl! yang aku beli di Bandung yang belum sempat aku baca. Satu jam pertama pelayaran, aku mengecek sinyal ponselku, Alhamdulillah penuh, padahal di tengah laut! Memang Telkomsel T.O.P abis deh kalau untuk urusan network coverage-ing. Akupun mencoba untuk online sekedar untuk meng-update status facebook dan twitter. It’s done!
Sesampainya di Pelabuhan Bakauheni, aku langsung menaiki bus menuju Terminal Rajabasa. Namun yang membuat aku kesal, si supir bus mampir dulu di sebuah rumah makan dan mandi! Tidak tanggung-tanggung, satu setengah jam kami menunggu ia selesai mandi. Tapi, aku tidak begitu bosan, karena sambil menunggu aku ber-SMS-an dengan teman-temanku. Namun tetap saja, penumpang yang lain menggerutu dan memarahi si supir bis yang mandinya lama seperti seperti sedang membintangi iklan sabun mandi (baca: sabunannya dihayati lol).
Hari itu, jalan lintas Sumatera sangatlah macet. Banyak terjadi kecelakaan sehingga membuat antrian kendaraan yang tidak pendek. Total, aku harus menempuh perjalanan dari Bakau ke Bandar lampung selama lima jam, padahal selama ini cukup dua jam, aku sudah sampai di rumah. Perjalanan kali ini sungguh menguras emosi, tenaga, dan cadangan cairan tubuh. Namun, Telkomsel selalu setia dengan sinyalnya yang penuh dan “ga ikut-ikutan ngambek”. Terimakasih Telkomsel!
No comments:
Post a Comment